Menjaga Warisan Bung Syahrir
Namanya Koto Gadang, terletak di wilayah Kecamatan Koto, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Koto Gadang berarti kota gede. Ada kesamaan yang istimewa dengan Kotagede di Yogyakarta. Dua kawasan ini sama-sama merupakan kawasan budaya yang menyimpan sejarah.Pusaka sejarah itu adalah rumah-rumah tradisional dengan berbagai corak arsitektur. Sebagaimana di Kotagede, di Koto Gadang warganya pun memiliki industri rumah tangga perhiasan perak.
Pendeknya, sebagaimana Kotagede, Koto Gadang adalah saujana budaya masa silam yang sampai kini praktis masih terjaga. Di situlah tempat Sutan Sjahrir dilahirkan (5 Maret 1909-9 April 1966) dan hidup pada masa kanak-kanaknya. Salah seorang tetua suku Sikumbang, Datuk Narayau Asraful Nazmi, yang merupakan kerabat jauh Sutan Sjahrir, mengatakan, di rumah itulah Sjahrir dibesarkan saudara perempuan ayahnya. Adapun ayahnya yang bernama Moh Rasyad dengan gelar Maharajo Sutan Jaksa Medan tinggal di lingkungan Sikumbang Sariak, Nagari Koto Gadang, yang berjarak sekitar 300 meter dari rumah tempat Sjahrir tinggal kala itu.
Kata Datuk Narayau, ayah Sjahrir yang berasal dari Padang Panjang, Sumbar, tinggal di rumah itu bersama dengan ibu tiri Sjahrir bernama Kamsin, sedangkan ibu kandung Sjahrir, Siti Rabiah, berasal dari Natal, (Kabupaten Mandailing Natal), Tapanuli, Sumatera Utara.
Berdasarkan buku Natal: Ranah Nan Data tulisan Puti Balkis Alisjahbana terbitan Dian Rakyat pada 1996, Sjahrir punya enam saudara sekandung. Sjahrir yang merupakan anak kedua pasangan Siti Rabiah-Moh Rasyad dengan gelar Maharajo Sutan Jaksa Medan punya kakak bernama Siti Sjahrizad dan Sutan Nuralamsjah. Selain itu, ia juga punya adik- adik, yakni Sutan Sjahsam, Mahruzar, Daharsjah, dan Ismail. Sjahrir masih merupakan adik tiri Rohana Kudus, jurnalis perempuan Minang pertama yang kemudian tercatat dalam tinta sejarah bangsa sebagai pembaru kaum perempuan pada zamannya.
Dirawat
Meskipun masih berdiri, rumah Sjahrir—Perdana Menteri pertama di Indonesia—ini memang sudah keropos di sana-sini. Rumah panggung terbuat dari papan itu butuh renovasi sebelum akhirnya roboh. ”Saya sendiri sudah kesulitan untuk mengurus surat-surat rumah itu,” kata Ny Upik Sjahrir, salah satu anak Sutan Sjahrir yang kini tinggal di Jakarta. Rumah itu memang bukan rumah Sjahrir, tetapi rumah leluhur. Hal itu tampaknya yang membuat Upik kesulitan melacak surat rumah tersebut.
Karena itu, bagi Upik sekarang, kalau mengunjungi rumah itu, tak lebih sebagai tamu. ”Saya datang ke sana, ya, hanya bisa melihat-lihat saja, sambil berpesan pada yang menempati agar dirawat baik.” Artinya, Upik tak bisa begitu saja menguasai rumah itu meskipun foto-foto Sutan Sjahrir ketika masih muda banyak terpajang di ruang tamu di rumah itu.
Bahkan, ada dua kamar yang terkunci rapat, yang konon di dalamnya berisi barang-barang dan buku-buku milik Sutan Sjahrir. ”Kuncinya di mana sekarang, saya enggak tahu. Saya mengintip juga enggak kelihatan karena pintu terkunci,” kata Supriyadi (36) yang sudah enam bulan mendiami rumah itu. Dia menempati rumah itu atas perintah dari Datuk Narayau. ”Sudah berganti-ganti keluarga yang menempati rumah ini, semuanya, ya, hanya bertugas menunggu,” kata Supriyadi.
Sebagai rumah pusaka atau orang setempat menyebut rumah adat, rumah Sjahrir adalah satu dari 360 rumah lainnya dari Koto Gadang yang selalu dijaga pelestariannya. Rumah- rumah itu umumnya berbentuk panggung yang terbuat dari kayu meranti dan borneo dengan kualitas terjaga. Ruangannya, antara lain, beranda untuk menerima tamu, ruang tengah untuk keluarga, dan sejumlah bilik ruang makan, dapur, dan kamar mandi.
Rumah-rumah adat atau rumah gadang yang sebagian merupakan bagian dari harta pusaka beberapa keluarga atau kaum di wilayah Kanagarian Koto Gadang, hampir semuanya memang ditinggal pemiliknya. Hampir semua rumah antik ini terkunci rapat. Ada yang dijaga seorang warga setempat, tetapi umumnya mereka menempati paviliun yang letaknya berada di belakang rumah induk.
Wakil Ketua Badan Permusyawaratan Nagari Koto Gadang Hajjah Heratina Mahzar mengatakan, Koto Gadang baru ramai setidaknya dua musim dalam setahun. Pertama, pada musim Tagak Datuak (pengangkatan atau penganugerahan gelar adat) setiap bulan Juli dan saat hari raya Idul Fitri. Di luar dua musim itu, Koto Gadang yang berhawa sejuk dan dihiasi pemandangan nan indah seperti lukisan tanpa bingkai kembali senyap. Terkunci, atau didiami orang-orang yang bahkan tidak terhitung sebagai kerabat dekat.
Heratina mengatakan, dirinya beserta anggota Badan Permusyawaratan Nagari Koto Gadang sangat konsen untuk menjaga dan merehabilitasi rumah-rumah adat di wilayahnya. Rumah gadang yang sempat didiami Sutan Sjahrir telah diperbaiki bagian terasnya, setelah dilanda gempa bumi di Kabupaten Tanah Datar dan Bukittinggi pada tahun 2007.
Menurut Heratina, selama ini biaya perawatan atau perbaikan rumah kuno dan khas ini diambil dari hasil garapan lahan sawah yang jadi harta pusaka keluarga dan dana sumbangan dari para penduduk Koto Gadang yang jadi perantau dan mengirimkan uang. ”Kami tidak mau terbeli dengan dana pemerintah, jangan-jangan malah kami terusir dari rumah kami.”
Sebagaimana disebut Heratina dan juga Datuk Narayau, jiwa perantau yang mendaging dalam warga Koto Gadang, menunjukkan jiwa yang tidak ingin berkonfrontasi, tetapi lebih mengutamakan taktik pemikiran. Kenyataan ini yang kemudian disalahpahami oleh orang lain sehingga muncul anggapan orang Koto Gadang berkooperatif dengan Belanda. Memang ada cerita orang yang bekerja sebagai jongos orang Belanda, tetapi ternyata mereka lebih belajar untuk mandiri.
Namun, orang bisa melihat, apakah orang-orang seperti Sutan Sjahrir dan juga Haji Agus Salim, Rohana Kudus, serta Emil Salim, yang lahir dari kawasan ini, diragukan nasionalismenya? Tampaknya, inilah yang hendak dijaga Heratina dan warga Koto Gadang.
Dalam Karawang-Bekasi, salah satu sajak Chairil Anwar, tersurat kata:
Kenang, kenanglah kami/Teruskan, teruskan jiwa kami/Menjaga Bung Karno/menjaga Bung Hatta/menjaga Bung Sjahrir….
Rasanya, menjaga kehidupan Sjahrir tak hanya mengenang kehadiran putra bangsa pengukir sejarah Indonesia itu, tetapi juga menjaga kampung halamannya yang sarat dengan karya budaya.
Disadur : Dp_tj
Tidak ada komentar:
Posting Komentar