- Besarkan gambar klik disini
Nama saya Rusmadya. Saya adalah salah satu dari lima Mata Harimau. Selama kurang lebih satu bulan kami Tim Mata Harimau melakukan perjalanan menyusuri hutan di beberapa wilayah di Pulau Sumatera dan menjadi saksi perusakan hutan yang terus berlangsung disana. Apa yang saya lihat dan temukan selama perjalanan tidak akan saya simpan sendiri. Saya akan membaginya ke Anda semua dan tentu yang lebih penting adalah menyampaikannya kepada pemerintah kita agar pemerintah segera bertindak menghentikan perusakan hutan yang terus berlangsung.
Aktivis Greenpeace, WALHI, KKI WARSI, dan Wahana Bumi Hijau (WBH) menyerahkan fakta-fakta penghancuran hutan Indonesia pada kementrian kehutanan ©Greenpeace
Saya bersama empat mata harimau lainnya sedang berada di Jakarta. Hari ini Kami akan menyampaikan temuan-temuan kami kepada pemerintah Indonesia dan Anda semua. Seperti yang mungkin Anda tahu, enam bulan sudah Inpres No. 10 tahun 2011 tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut, diberlakukan pemerintahan SBY-Boediono. Selama itu pula kami dan beberapa lembaga lainnya tidak pernah berhenti memantau bagaimana intruksi presiden itu dapat berjalan dan menghasilkan sesuatu untuk hutan kita.
Bulan September lalu kami melakukan pemantauan dan “mengaum” bersama. Selama satu bulan lebih aktivis Greenpeace, WBH, WARSI dan WALHI (Riau, Jambi dan Sumatera Selatan) melakukan Tur Mata Harimau di Sumatera untuk menjadi saksi dan mendokumentasikan berbagai fakta perusakan hutan sekaligus mengajak masyarakat Indonesia untuk berpartisipasi dalam upaya penyelamatan hutan alam dan gambut Indonesia. Kami menemukan bukti dan menyaksikan langsung bagaimana Asia Pulp and Paper (APP) -- salah satu perusahan penghancur hutan, telah meremehkan komitmen Presiden SBY dengan terus membabat hutan alam dan gambut. Dokumentasi fakta yang kami kumpulkan selama perjalan Tur Mata Harimau pada bulan lalu di Riau, Jambi dan Sumatera Selatan secara gamblang menunjukkan hal tersebut.
Hutan kita terus dihancurkan, itulah rekaman Mata Harimau selama perjalanan di Sumatera. Perusahaan penghancur hutan seperti Asia Pulp and Paper (APP) terus menerus meremehkan komitmen pemerintah, mereka terus menghancurkan rumah harimau, rumah Orang Rimba masyarakat lokal yang hidupnya sangat tergantung pada hutan, menghancurkan sumber inspirasi budaya Indonesia dan juga melanggar kebijakan pemerintah Indonesia dengan tetap membuka lahan gambut yang dalamnya lebih dari tiga meter.
Mata Harimau lainnya memantau kondisi hutan Indonesia dari udara, dengan menggunakan pesawat terbang, kami menyaksikan bagaimana hutan kita dibakar. Melakukan pembakaran hutan jelas melanggar hukum dan “mengemisi” Indonesia.
Pelalawan,Riau 16 Oktober 2011 - Lokasi ini berada di 0° 9′ 45.84″ N, 102° 13′ 31.65″ E, Pembukaan lahan dengan membakar hutan merupakan kegiatan yang melawan hukum dan ini terjadi di kawasan konsesi perusahaan PT. Arara Abadi pemasok Pulpwood APP (anak perusahaan APP dari Grup Sinar Mas)©Greenpeace/Ardiles Rante
Penghancuran hutan, masa depan Indonesia, harus dihentikan. Perusahaan penghancur hutan seperti APP harus menghentikan kejahatan mereka menghancurkan hutan masa depan bangsa Indonesia. Pemerintah kita harus tegas menyelamatkan masa depan Indonesia dan tidak membiarkan perusahaan penghancur hutan seperti APP meremehkan kebijakan negara kita.
Saya dan empat Mata Harimau lainnya menyerahkan bukt-bukti yang kami kumpulkan kepada Bapak Presiden, Menteri Kehutanan, Menteri Lingkungan Hidup dan Satuan tugas pemberantasan mafia hukum.
Dukungan Anda untuk menyelamatkan hutan masa depan Indonesia sangat penting. Saya mengundang anda semua menjadi mata harimau, Mata yang terdepan menyelamatkan masa depan hutan Indonesia. Bersama-sama kita bisa membuat perubahan!
Tim Mata Harimau ©Greenpeace/Ulet Ifansasti
-- Rusmadya Maharuddin ( Greenpeace Indonesia )
Senin, 05 Desember 2011
Menanti Instruksi yang Dilaksanakan Dengan Sepenuh Hati untuk Hutan Indonesia
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar