Sekilas tentang WALHI dari masa ke masa.
Berawal dari Lantai Tiga Belas
Setelah dua bulan diangkat sebagai Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim berdialog dengan beberapa kawannya, seperti Bedjo Rahardjo, Erna Witoelar, Ir. Rio Rahwartono (LIPI), dan Tjokropranolo (Gubernur DKI), untuk membicarakan agar lingkungan menjadi sebuah gerakan dalam masyarakat. “Saya pengen bola salju lingkungan hidup bisa cepat membesar,” kata Emil waktu itu (wawancara – pribadi). Bukan hanya itu tujuannya, tetapi Emil Salim merasa bahwa ia harus belajar tentang lingkungan, karena ia melihat bahwa lingkungan ini adalah sesuatu yang baru dan belum populer di Indonesia. Ia ingin terjun ke tengah-tengah masyarakat agar persoalan-persoalan lingkungan di masyarakat bisa diketahui dan dicarikan solusi oleh masyarakat. Untuk itulah, ia harus mencari jalan keluar agar bola salju yang bernama ‘lingkungan’ itu menggelinding lebih besar.
Dalam diskusi-diskusi yang berlangsung secara informal dengan kawan-kawannya, bagi Emil Salim tidak ada pilihan lain, kecuali minta bantuan kelompok-kelompok NGO dan pecinta alam. Harapan Emil adalah agar kelompok NGO dan pecinta alam dapat membantu menyelesaikan pelbagai persoalan lingkungan, karena kedua kelompok ini dianggap mempunyai kedekatan dengan masyarakat. Sehingga pemerintah melalui lembaga ini bisa menyampaikan programnya kepada masyarakat. Di sisi lain, masyarakat yang tidak bisa menyampaikan permohonannya kepada pemerintah bisa disampaikan melalui NGO.
Keinginan Emil Salim yang begitu besar membuat haru seorang kawannya yang saat itu menjadi Gubernur DKI, yaitu Tjokropranolo. Hingga suatu siang Tjokropranolo menawarkan sebuah ruangan untuk melakukan pertemuan kelompok NGO se-Indonesia. Gayung bersambut, tanpa pikir panjang, Emil Salim langsung menerima tawaran Tjokropranolo untuk melakukan pertemuan NGO seluruh Indonesia. Pertemuan tersebut dilakukan di Lantai 13, Balaikota (Kantor Gubernur DKI Jakarta), Jalan Merdeka Selatan. Tidak dinyana sama sekali, pertemuan mendadak tersebut dihadiri sekitar 350 lembaga yang terdiri dari lembaga profesi, hobi, lingkungan, pecinta alam, agama, riset, kampus, jurnalis, dan lain sebagainya. Disitulah Emil Salim mengungkapkan semua keinginannya bahwa antara pemerintah dan NGO harus berjalan bersama untuk mewujudkan lingkungan yang baik, juga diungkapkan bahwa masyarakat harus membantu program-program pemerintah dalam bidang lingkungan.
Dalam pertemuan tersebut, Abdul Gafur (saat itu Menteri Pemuda dan Olahraga), datang menjenguk. Kabarnya, ia ingin mengetahui apa yang akan dilakukan kelompok NGO dan tanggapan kelompok ini terhadap pemerintah. Agar pertemuan tersebut tidak sia-sia, mereka harus mencari bagaimana memelihara komitmen bersama sekaligus mencari cara berkomunikasi yang efektif di antara mereka. Menjelang acara usai, muncullah kesepakatan untuk memilih sepuluh NGO yang akan membantu program-program pemerintah dalam bidang lingkungan hidup. Ke-sepuluh organisasi tersebut kemudian disebut dengan Kelompok Sepuluh. Awalnya, kelompok ini akan dinamakan dengan Sekretariat Bersama Kelompok Sepuluh. Namun, George Adji Tjondro menolak, dengan alasan kalau sekretariat bersama, seperti underbownya Golkar. Akhirnya, Goerge mengusulkan nama Kelompok Sepuluh. Dan dari lantai 13 itulah, lahir Kelompok 10 yang menjadi cikal bakal kelahiran WALHI.
Kelompok Sepuluh, Cikal Bakal WALHI
Agar tidak ada persepsi bahwa organisasi ini adalah sebagai organisasi politik, maka namanya dilengkapi dengan Kelompok Sepuluh Pengembangan Lingkungan Hidup yang dideklarasikan pada 23 Mei 1978 di Balaikota. Kelompok Sepuluh ini merupakan wadah untuk tukar informasi, tukar pikiran, dan penyusunan program bersama mengenai masalah lingkungan hidup di Indonesia maupun lingkungan hidup di dunia, demi terpeliharanya kelestarian lingkungan makhluk hidup umumnya dan manusia khususnya. Anggota kelompok ini adalah Ikatan Arsitek Landsekap Indonesia (IALI), dengan ketua Ir. Zein Rachman, Yayasan Indonesia Hijau (YIH), dengan ketua Dr Fred Hehuwed, Biologi Science Club (BCS) yang diketuai oleh Dedy Darnaedi, Gelanggang Remaja Bulungan, yang diketuai oleh Bedjo Raharjo, Perhimpunan Burung Indonesia (PBI) dengan ketua H. Kamil Oesman, Perhimpunan Pecinta Tanaman (PPT) yang diketuai oleh Ny. Mudiati Jalil, Grup Wartawan Iptek yang diketuai oleh Soegiarto PS, Kwarnas Gerakan Pramuka oleh Drs. Poernomo, Himpunan Untuk Kelestarian Lingkungan Hidup (HUKLI) oleh George Adjidjondro, dan Srutamandala (Sekolah Tinggi Publisistik).
Namun, dalam perjalanannya, Srutamandala tidak memenuhi persyaratan sebagai anggota organisasi, karena kegiatannya bersifat individual, meskipun ada bentuk organisasinya. Sehingga jumlahnya menjadi sembilan organisasi. Keanggotaan tersebut dirasakan masih kurang dan harus ditambah dengan beberapa organisasi, sehingga lebih mempunyai ‘power’ untuk melakukan kegiatan. Untuk itulah dilakukan penambahan keanggotaan Kelompok Sepuluh Pengembangan Lingkungan Hidup. Yang kemudian masuk adalah Yayasan Pendidikan Kelestarian Alam yang diketuai oleh Ny. Aziz Saleh, Yayasan lembaga Konsumen Indonesia, yang diketuai oleh Zumrotin, Persatuan Radio Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI), Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LPES) yang diketuai oleh Ismed Hadad, Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), dan Harian Sinar Harapan yang diwakili oleh Winarta Adisoebrata. Meskipun keanggotaannya tidak lagi sepuluh organisasi, namun nama Kelompok Sepuluh tetap dipertahankan untuk memberikan penghargaan kepada sepuluh organisasi pendirinya.
Kelompok ini diketuai oleh Ir. Zein Rachman (IALI), dengan Sekretaris I, yaitu Dedy Darnaedi (BSCc) dan Sekretaris II, Bedjo Rahardjo (GRJS-Bulungan). Untuk menjalankan kegiatannya, kelompok ini menempati sebuah ruangan di kantor PPLH, dengan tugas utama menjadi jembatan antara pemerintah dengan LSM lainnya (Tanah Air, Oktober 1984 ,No.43 Tahun IV, hal 6-8). Beberapa NGO ini menawarkan bantuan sukarela kepada Emil Salim untuk membantu menjadi sukarelawan di kantor yang baru tersebut.
Pertengahan tahun 1980, tingkat pencemaran Teluk Jakarta yang disiarkan pers mengejutkan banyak orang, termasuk aktivis lingkungan. Kasus ini mendapatkan respon yang luar biasa dari masyarakat, terlebih ketika hasil penelitian terhadap kematian beberapa orang anak di Teluk Jakarta diindikasikan sama dengan kejadian di Minamata, Jepang, meninggal karena Merkuri. Tidak hanya itu, di Jakarta juga dilaksanakan seminar berkaitan dengan bahaya Merkuri/Hg dan pencemaran Teluk Jakarta dengan mengundang Profesor Harada dari Jepang. Adalah Dr. Meizer, seorang dokter yang melakukan pengamatan bersama kelompok sepuluh waktu itu. Kejadian tersebut mendapatkan respon, di antaranya adalah Komisi X/DPR, Menteri Negara PPLH, Pemda DKI, dan para dokter. Sebagai perbandingan, kasus kelompok sepuluh ini mendapatkan undangan untuk melihat masyarakat korban di Minamata, Jepang, dan setelah itu terus melakukan penyadaran kepada masyarakat tentang bahaya Merkuri/Hg.
Selain menangani Teluk Jakarta, Kelompok Sepuluh juga melakukan kegiatan penelitian dan pendampingan masyarakat di Dukuh Tapak, Semarang, yang airnya dicemari oleh limbah pabrik, sehingga menyebabkan kesuburan tanah berkurang serta pengairan sawah yang rusak parah. Namun, kehadiran kelompok Sepuluh dirasakan belum memenuhi keinginan kelompok NGO untuk menjadi wadah kegiatan lingkungan serta masih perlunya wadah untuk melakukan sosialisasi lingkungan di kalangan masyarakat. Kelompok Sepuluh inilah yang kemudian membidani lahirnya Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup I yang kemudian melahirkan Walhi.
Pertemuan Oktober 1980, Lahirnya WALHI
Atas prakarsa kelompok 10, dan dukungan Sri Sultan Hamengku Buwono IX lewat Indonesia Wildlife Fund, dibicarakan kemungkinan pertemuan ornop yang lebih besar untuk menanggapi isu yang lebih besar. Dari awal sudah disadari bahwa masalah lingkungan hidup itu menyangkut hal-hal yang kompleks, sehingga beberapa ornop yang sudah mempunyai program lingkungan hidup memutuskan untuk bertemu dalam satu forum nasional. Dalam sebuah makan siang, Emil Salim, Soerjani, dan Erna Witoelar, sepakat untuk mengikutkan forum pertemuan nasional LSM itu ke dalam Konferensi Pusat Studi Lingkungan (PSL) yang pertama di Jakarta.
Tidak hanya kelompok Sepuluh yang tampak antusias mempersiapkan acara tersebut, namun juga beberapa departemen. Tidak tanggung-tanggung, Emil Salim bahkan melaporkan rencana pertemuan nasional tersebut kepada Soeharto. Dalam konferensi persnya, Emil mengatakan bahwa pertemuan tersebut dimaksudkan untuk bertukar pikiran agar organisasi kelompok ini dapat ikut aktif dalam pengembangan lingkungan di Indonesia. Di pihak lain, PPLH, Departemen Pekerjaan Umum (PU), Departemen Pertambangan dan Energi, Departemen Kesehatan, Departemen Pertanian dapat bekerjasama sehingga kelompok organisasi ini menjadi semacam “jembatan” antara aparatur Pemerintah dengan masyarakat dalam menangani masalah lingkungan hidup. Dengan demikian, diharapkan ada “semacam jalan pintas” sehingga dalam waktu singkat dapat “dirakyatkan” masalah lingkungan hidup (Kompas, 8 Oktober 1980, halaman 1).
Pertemuan tersebut disponsori oleh Yayasan Pembinaan Suaka Alam dan Margasatwa Indonesia/World Wirldlife Fund yang diketuai oleh Hamengkubuwono IX. Selain itu, juga muncul beberapa nama yang memberikan dukunga, seperti Purnomo (Menteri PU), Soedjarwo (Menteri Kehutanan), dan Emil Salim (Menteri LH). Mereka tidak hanya memberikan dukungan immaterial, namun juga memberikan bantuan dana. Dari dana bantingan antar-kawan tersebut, berhasil terkumpul sekitar sepuluh juta rupiah. Adalah Erna Witoelar dan Nasihin Hasan yang saat itu mengambil uang dari WWF yang diserahkan oleh Soedjarwo (Menhut sekaligus bendahara WWF).
Pertemuan berlangsung pada tanggal 13 - 15 Oktober 1980, di Gedung YTKI bersamaan dengan berlangsungnya Konferensi Pusat Studi Lingkungan (PSL) se-Indonesia. Pertemuan tersebut diikuti oleh 130 orang peserta dari 78 organisasi dari tiga kelompok, yaitu kelompok organisasi masyarakat (agama, sosial), organisasi pecinta alam, dan organisasi profesi. Tokoh yang dianggap menonjol saat itu antara lain George Junus Aditjondro dari Bina Desa, MS Zulkarnaen dari Yayasan Mandiri Bandung, Satjipto Wirosardjono dari PKBI, Rudy Badil dari Mapala UI, dan Zen Rahman dari IAI. Dari kalangan PSL kampus tercatat nama Otto Soemarwoto, Hasan Poerbo, Soeratno Partoatmodjo, Abu Dardak, dan lain-lain. Pertemuan tersebut berlangsung alot karena kecurigaan sebagian peserta dari kelompok pecinta alam dan aktivis kampus bahwa organisasi payung yang dibentuk tidak jauh berbeda, misalnya, dengan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), dan lain-lain organisasi yang dibentuk dan dimobilisasi pemerintah.
Bahkan, untuk nama organisasi yang akan menjadi wadah dari NGO yang mengikuti acara ini sempat deadlock. Kamis sore, menjelang penutupan tetap belum diperoleh sebuah nama. Adalah Erna Witoelar, salah seorang panitia yang tampak panik, mondar-mandir sambil sesekali menyeka keringat dikening dan pipinya. Wajahnya tampak tegang, ia dan beberapa panitia pencetus pertemuan tersebut, kebingungan. Lembaga NGO yang awalnya tampak sepakat dengan tujuan ternyata kembali membawa nama lembaganya masing-masing. Ada semacam ketakutan bahwa antarlembaga tersebut akan terjadi saling mengkooptasi. Sesaat setelah masuk ruangan, Erna kembali keluar, kali ini matanya merah, ia menangis. "Tidak...kita harus putuskan sekarang, pertemuan ini harus menghasilkan sesuatu," katanya sambil sesenggukan. Beberapa anggota kelompok sepuluh, seperti Zen Rahman, Nashihin Hasan, mulai melakukan lobi kepada peserta yang saat itu sedang deadlock. Goerge Adji Tjondro yang menjadi anggota Kelompok Sepuluh malah paling keras dalam persoalan nama, alasannya adalah tidak mau seperti Golkar atau underbow lembaga manapun. Oleh karena itu, pemilihan nama itu memakan waktu cukup lama. Setelah deadlock, sidang dilanjutkan dengan break, saat itulah lobi tahap kedua dilanjutkan, kali ini lobi difokuskan untuk mendekati kelompok muda yang terdiri dari pecinta alam dan kelompok agama yang takut terkooptasi ideologinya.
Menjelang Maghrib, Erna tergopoh-gopoh keluar ruangan sidang. Ia menjelaskan bahwa sidang akan ditutup dua jam lagi, sementara suasana sidang masih deadlock, karena belum ada kesepakatan soal nama forum nasional yang menghimpun LSM Lingkungan Hidup. Pleno sidang berjalan alot karena kecurigaan sebagian peserta dari kelompok pecinta alam dan aktivis kampus bahwa organisasi payung yang dibentuk tidak jauh berbeda misalnya dengan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia), dan lain-lain organisasi yang dibentuk dan dimobilisasi pemerintah.
Dalam percakapan dipojok ruangan depan, terjadi percakapan antara Erna dengan Zen Rachman dan Wicaksono Noeradi. Yang penting bentuknya bukan federasi atau fusi “Mengapa tidak sekretariat bersama yang dalam bahasa Inggrisnya: Coordinating Secretariat?” tanya saya. “Tidak bisa,” jawab Erna. “Sebab mirip Sekber Golkar!”Saya katakan bahwa sebutan “forum” lebih baik. Namun, Erna menjawab “Tidak cukup.” Saya menawarkan Forum Komunikasi. Langsung dijawabnya, “Tidak mungkin, sebab mirip Forum Komunikasi putra-putri purnawirawan ABRI dan putra-putri ABRI.” Setelah lama termenung-menung, walaupun agak pesimis “Bagaimana kalau Wahana?” tanya saya. “Apa artinya itu?” tanya Erna. “Artinya vehicle atau means.” (Wicaksono Noeradi, Revolusi Berhenti di Hari Minggu, Gramedia: 1999).
Entah karena sudah mau penutupan atau memang sepakat, Erna melesat masuk ke ruangan, dan kemudian duduk di depan sidang. Ia menawarkan nama Wahana dengan penjelasan arti wahana – sehingga namanya menjadi Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Nama ini dianggap independen, tidak underbow kepada salah satu organisasi/parpol, serta mencerminkan nama khas Indonesia atau bukan nama asing. Peserta mulai riuh kembali. Saling tanya dan berceletuk tentang nama tersebut. George Adjitjondro yang paling vokal soal nama mengacungkan jari dan menyatakan setuju dengan nama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Beberapa lembaga kemudian juga mengacungkan jari tanda setuju. Ketika Erna menawarkan, bagaimana dengan nama Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, mayoritas menyatakan setuju.
Kamis malam, tanggal 15 Oktober 1980, palu diketok, nama disepakati: Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Suasana haru malam itu, ketika peserta bergandeng tangan sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya sebelum penutupan. Lilin ditiup oleh Erna sebagai tanda bahwa acara telah usai. Deklarasi dilakukan bersamaan dengan penutupan konferensi Pusat Studi Lingkungan (PSL) seluruh Indonesia. Selain memutuskan pembentukan Wahana Lingkungan Hidup dengan mengadakan musyawarah periodik setiap dua tahun, juga dipilih sembilan anggota presidium periode 1980 – 1982 yang diketuai oleh Zen Rachman, dengan sekretaris eksekutif, Ir. Erna Witoelar.
Ketakutan indoktrinasi pemerintah ditandai dengan kesepakatan aktivis ornop untuk menetapkan tiga asas organisasi non pemerintah (ornop) yang bergabung dengan Walhi, yaitu asas mandiri, bekerjasama tanpa ikatan, dan bekerja nyata bersama dan untuk masyarakat. (Tanah Air, Edisi No.1/November 1980, hal. 2). Selain itu, dalam pertemuan tersebut, juga sudah muncul kesadaran bahwa intervensi pemerintah dalam NGO mencerminkan iklim demokrasi yang ada di Indonesia. Untuk itulah, dibutuhkan kepekaan untuk membaca persepsi masyarakat, agar program yang dijalankan sesuai dengan keinginan rakyat.
Untuk itulah para aktivis LSM itu mendeklarasikan Walhi dalam bentuk forum sebagai bentuk yang paling dapat diterima saat itu, yaitu forum LSM lingkungan dengan sifat keanggotaan yang egaliter dan longgar, dan berperan sebagai forum komunikasi. Untuk memudahkan koordinator Walhi membentuk presidium yang dijalankan oleh seorang sekretaris eksekutif. Tugas presidium pertama Walhi dalam masa dua tahun kepengurusannya, terutama melakukan fungsi-fungsi kehumasan organisasi. Hubungan dengan lembaga pemerintah dijelaskan sebagai hubungan yang tetap dijaga jaraknya dan bersifat timbal balik. Dengan alasan tetap menjaga jarak, para aktivis itu menyatakan tidak bergabung atau membantu Emil di kementrian sebagai staf. Hanya Linus Simanjuntak dari YIH yang membantunya sebagai sekretaris menteri karena ada kekosongan jabatan (Erna Witoelar, kom. pribadi).
Tanggal 18 Oktober, tiga hari setelah deklarasi Walhi, para aktivis ini diundang ke istana (Bina Graha) oleh Presiden Soerharto. Menurut Zen Rachman, dalam menanggapi hasil pertemuan ornop tersebut, Presiden Soeharto mengatakan bahwa tidak semua pekerjaan kelestarian lingkungan hidup dapat dikerjakan oleh pemerintah. Dengan adanya swadaya masyarakat untuk penanggulangan lingkungan hidup, maka akan dapat dijalankan lebih cepat usaha-usaha pelestarian yang sudah multak perlu. (Kompas, 20 Oktober 1980, halaman 12).
Masa Pertumbuhan WALHI
Kelahiran Walhi sebagai sebuah forum mempunyai kekuatan cukup besar, secara bertahap di tahun 83-an jumlahnya sudah mencapai 350 lembaga. Hal ini membuat pemerintah harus selalu ‘memperhitungkan” kelahiran dan gerakan WALHI. Kondisi sosial politik pada tahun-tahun pertama kelahiran WALHI yang selalu mendengungkan konsep pembangunan mengalir seiring dengan berkembangnya WALHI.
Gerakan Walhi di awal kepengurusannya dimulai dengan aksi ‘public relation,” yaitu memperkenalkan Walhi ke seluruh elemen, baik pemerintah, perusahaan, pers, mahasiswa, para artis, dan lain sebagainya, turut digandeng oleh WALHI. Di tahun-tahun pertama, peran WALHI adalah melakukan public awareness kepada masyarakat tentang isu-isu lingkungan. WALHI menyebutnya dengan periode menggugah atau membangunkan kembali banyak pihak tentang pentingnya pelestarian lingkungan dan peran serta masyarakat untuk mewujudkan lingkungan hidup yang sehat dan lestari. (Refleksi Umum 1980 –1992 dalam Laporan Kegiatan WALHI Periode 1989 – 1992). Hal tersebut terlihat dari berbagai kegiatan yang dilakukan, di antaranya adalah melakukan pendidikan lingkungan di berbagai lembaga dan pecinta alam, kolaborasi isu lingkungan dengan para seniman, seperti Iwan Fals, Sam Bimbo, Ully Sigar Rusady, dan lain-lain. Selain sosialisasi, langkah yang ditempuh adalah edukasi, yaitu memberikan pendidikan konservasi alam di beberapa kampus, dan melakukan seminar tentang lingkungan, mengadakan berbagai perlombaan, misalnya, menggambar, menciptakan lagu, dan karya tulis ilmiah.
Perlahan Walhi mendapatkan legitimasi dari masyarakat dan pemerintah. Walhi mendapatkan legitimasinya sebagai representasi LSM lingkungan seluruh Indonesia dan diundang DPR untuk didengar keterangannya dalam pembahasan UU Lingkungan Hidup. Menurut Koesnadi, Kelompok Sepuluh dan Walhi sudah dimintakan pendapatnya sejak awal bahkan dalam pembahasan RUU lingkungan hidup menjelang penyerahan draft final ke sekretariat negara. Mereka bekerja tiga hari tiga malam bersama para akademisi menyusun draft undang-undang di lantai 6 Gedung Kementerian Lingkungan. Pembahasan RUU Lingkungan Hidup itu sudah dimulai tahun 1976, bersamaan waktunya dengan permintaan pemerintah Amerika Serikat kepada USAID (US Aid for International Development) agar mulai melengkapi laporannya dengan analisa dampak lingkungan dari setiap proyek bantuan dan hibah mereka (Envi. Planning and Management, Proceeding, ADB, 1986).
Tahun 1982, WALHI bersama-sama lembaga swadaya masyarakat lainnya membahas dan memberikan masukan bagi penyusunan Undang-undang Pokok Pengelolaan Lingungan Hidup/Undang-undang No.4 Tahun 1982. Masukan yang kemudian diadopsi dalam undang-undang tersebut adalah pasal 6 tentang peran serta masyarakat.
Perkembangan LSM lingkungan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh politik nasional. Pemilu 1982 dimenangkan Golkar dengan dukungan penuh dari pemerintah yang mewajibkan anggota Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) melakukan monoloyalitas mendukung partai pemerintah itu sehingga menguasai suara parlemen. Tidak ada perubahan politik dalam negeri yang menunjukkan dibukanya celah demokratisasi dan kebebasan memilih dalam Pemilu. Pemerintah bersikap menyambut tumbuhnya LSM lingkungan, terutama yang bergabung dalam forum Walhi, karena dianggap steril dari aspek-aspek politis. Hubungan antara pemerintah dengan WALHI sering tarik ulur. Meski tak bias dianggap bergandengan tangan, namun pelaksanaan PNLH II Walhi di Sekolah Calon Perwira (Secapa) TNI- Angkatan Darat di Bandung, dianggap sebagai sebuah tali persahabatan antara pemerintah dan WALHI.
Wacana yang berkembang dari beberapa diskusi LSM pertengahan 1980-an jelas menunjukkan tumbuhnya kesadaran bahwa persoalan lingkungan antara lain berakar pada birokrasi dan keputusan-keputusan politis yang dibuat pemerintah. Dapat dilihat hubungan antara kerusakan lingkungan dan keputusan politis, sehingga tidak mungkin memisahkan persoalan lingkungan hidup dengan proses pengambilan keputusan di pemerintahan. Tetapi tidak ada suasana yang dianggap kondusif untuk memulai sikap oposan, bahkan dalam bentuknya yang paling lunak, dengan pemerintah saat itu karena rezim Orde Baru yang semakin kuat (Erna Witoelar, kom. Pribadi).
Untuk mendukung pembiayaan program-progam lingkungan hidup, dibentuklah Yayasan Dana Mitra Lingkungan (DML) tanggal 27 Oktober 1983. Pendirian DML dimulai dengan pernyataan sikap oleh para pendirinya, seperti Soemitro Djojohadikusumo, Jakob Oetama, Erna Witoelar, dan Haroen Al Rasjid.
Periode pasca UU Lingkungan Hidup tahun 1982, WALHI ditandai dengan kenaikan anggota LSM yang mengalami booming yang belum pernah terjadi sebelumnya, dari sekitar 80-an LSM lingkungan pada tahun 1980, tercatat 320 pada tahun 1982 dan tahun 1985 sudah didata lebih dari 400 LSM. Ketika Walhi melaksanakan Pertemuan Lingkungan Hidup (PNLH) III tahun 1986, dari 486 LSM lingkungan yang ada, 350 di antaranya bergabung dalam Walhi. (Tanah Air, Edisi Khusus, April 1986 No.61 tahun VI) .
Pada periode 1986 – 1989 merupakan periode pematangan dan peningkatan kualitas peran WALHI. Periode ini diarahkan untuk Environmental Awereness Raising di kalangan LSM dan masyarakat luas terus dilanjutkan. Untuk ini, diperlukan back up data untuk mendukung advokasi. Hal ini kemudian dilanjutkan dalam kerja-kerja advokasi berikutnya.
Kampanye yang dilakukan WALHI tidak hanya mendapatkan dukungan dan legitimasi pemerintah dan masyarakat, namun juga media massa. Media Massa mulai memberi dukungan dengan mulai menempatkan isu lingkungan hidup sebagai isu-isu utama termasuk liputan pencemaran Merkuri di Teluk Jakarta tahun 1980 yang menjadi berita sampul majalah Tempo. Tahun 1984 Walhi dan penerbit Sinar Harapan menyelesaikan laporan Neraca Tanah Air yang ditulis secara populer dan menyajikan kondisi lingkungan hidup secara komprehensif. Sudah ada kesadaran tinggi di kalangan LSM bahwa wartawan dan media massa memegang peranan yang penting sebagai corong kegiatan lingkungan. Dengan dukungan beberapa wartawan senior, seperti Aristides Katoppo, dilakukan kursus jurnalistik lingkungan hidup tingkat nasional. Bahkan, Walhi mulai menerbitkan Warta Tanah Air.
Dalam forum-forum resmi tahun 1980-an, aktivis-aktivis WALHI tetap dinyatakan apolitis. Emil Salim dalam pembukaan PNLH III kembali mengulang keinginan pemerintah terhadap LSM dengan lebih halus, bahwa salah satu ikatan kuat yang menyatukan LSM dalam Walhi --dengan demikian eksistensi Walhi, karena tidak ada pamrih politik dan pamrih jabatan. Walaupun para aktivis tidak frontal menentang penilaian itu, tetapi mulai ada usaha untuk membuka orientasi baru gerakan LSM lingkungan, antara lain keinginan untuk melakukan advokasi lingkungan (Warta Tanah Air......idem, hal. 7-8).
Tahun 1996, pertama kalinya WALHI membuat laporan tahunan yang komprehensif dan diterbitkan untuk masyarakat luas. Ini bertujuan untuk membuka seluas-luasnya WALHI kepada masyarakat. Keterbukaan bagi WALHI sangat penting karena masih ada tuduhan-tuduhan yang menyatakan bahwa WALHI condong pada kepentingan luar negeri (asing) dan bukan kepada rakyat. Dari apa yang dilaporkan, masyarakat bisa mengetahui apakah WALHI condong pada kepentingan asing atau kepada kepentingan lingkungan dan demokratisasi di Indonesia (Emmy Hafild, wwc pribadi).
Mengawali tahun 2000, WALHI terus bergerak maju dan konsisten dengan perjuangan penegakan lingkungan. WALHI melihat bahwa tantangan makin kuat, meski demikian WAHI tak surut. Bukan terlalu optimis, namun, 20 tahun usia WALHI masih menunjukkan konsistensi dan arah gerakan yang jelas.
Advokasi: Mengubah Haluan, Menantang Pemerintah
Pertumbuhan organisasi membutuhkan ruang hidup dan ruang gerak yang cukup. Pertumbuhan membawa konsekuensi perkembangan dalam keragaman isu dan gerakan. Dalam mencapai tujuannya, mengembalikan kedaulatan rakyat atas sumberdaya alam, langkah WALHI dengan tidak kompromi terhadap berbagai perusak lingkungan tidak cukup, karena semua itu ditentukan oleh berbagai peraturan yang dibuat oleh pemerintah. Walhi melakukan reposisi dan memutuskan masuk dalam advokasi, yaitu melakukan perubahan kebijakan lingkungan hidup setelah PNLH III. Dengan pilihannya ini, gerakan WALHI semakin nyata, bahwa ia bukan berada pada ‘garis luar’ namun secara terus menerus memberikan masukan, kritik, atau melakukan protes keras terhadap kebijakan pemerintah, baik yang sudah ada maupun yang sedang dibahas.
Sejalan dengan hal tersebut, sikap kritis WALHI terus terasah melihat berbagai kebijakan dan eksploitasi sumberdaya alam yang merugikan masyarakat. Kampanye terhadap dampak pertambangan di PT. Freeport Indonesia mengawali langkah WALHI dalam hard campign, di mana sikap tegas dan tidak kompromi terhadap perusak lingkungan menjadi ciri khas WALHI selanjutnya.
Pada tahun 1988, Badan Eksekutif WALHI mulai mengkampanyekan tentang Reformasi Lingkungan Hidup fokus pada hal-hal makro yang meliputi kebijakan lingkungan dan kelembagaan lingkungan. Kebijakan tersebut dilandasi oleh pernyataan bahwa kebijakan lingkungan harus memenuhi rasa keadilan, melindungi lingkungan, dan bisa dinikmati oleh masyarakat. Sedangkan dalam hal kelembagaan didasarkan pada kelembagaan yang dibangun dan dikembangkan agar dapat menjalankan kebijakan tersebut.
Dalam melakukan advokasi, tidak jarang WALHI harus ‘berhadapan’ dengan pemerintah atau perusahaan besar. Akhir tahun 1988, ketika pertama kalinya forum ini menggugat pemerintah dan memasukkan nama menteri lingkungan hidup dalam daftar para tergugat. Saat itu, George Aditjondro dengan terburu-buru menyatakan bulan madu Emil Salim dan LSM sudah berakhir. Emil Salim saat itu tidak berdaya karena Soeharto terlebih B.J. Habibie juga memberikan ijin. Bulan Desember 1989, Walhi memutuskan untuk menggugat enam pejabat negara karena mengijinkan pembangunan pabrik pulp dan rayon, PT Inti Indorayon Utama di Porsea. Kasus ini pertama kalinya NGO melakukan legal standing. Ini merupakan catatan pembaharuan hukum acara di Indonesia, karena sebelumnya Indonesia menganut “asas tiada gugatan tanpa kepentingan hukum”. Saat itu, kepentingan hukum biasanya dikaitkan dengan kepentingan kepemilikan atau kerugian yang dialami langsung oleh penggugat. Dalam perkembangannya, setelah beberapa kali WALHI mengajukan gugatan, akhirnya legal standing WALHI diterima di Pengadilan. Meskipun dari pengalaman beberapa sidang di pengadilan, legal standing WALHI selalu saja diperdebatkan. Namun, dalam perjalanannya, akhirnya legal standing LSM ini diakomodir dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang diartikan sebagai Hak Gugat Organisasi Lingkungan.
Menurut Erna Witoelar, memang sempat Sudomo (kala itu Pangkopkamtib) memanggil semua aktivis Walhi dan menasehati mereka untuk mengurungkan saja niat mereka menggugat pemerintah. Bak seorang peramal, menurut Soedomo, "Kita akan berhadapan di depan pengadilan tapi kan kalian pasti kalah melawan pemerintah. Berapa sih uang yang kalian punya, pemerintah akan dibela lawyer-lawyer hebat." (Erna Witoelar, kom. pribadi, 15/7/00) Emil Salim juga menyarankan Walhi untuk menghentikan saja proses penuntutan itu. Tetapi, ia tetap menyerahkan keputusannya kepada Walhi jika ingin meneruskannya. Walhi memang akhirnya kalah, tetapi klaim mereka sebagai organisasi lingkungan hidup yang mewakili lingkungan (legal standing) diterima oleh pengadilan. Inilah tonggak pertama LSM Indonesia diakui melakukan legal standing. Selanjutnya hal tersebut menjadi tonggak sejarah Walhi untuk legal standing untuk melawan pemerintah atau menggugat.
Tercatat ada delapan gugatan yang dilakukan WALHI pada periode 1988 – 2000, yaitu menggugat Amdal PT. Inti Indorayon Utama (1988), Dana Reboisasi (1999), Amdal PT. Freeport Indonesia, (1995), Pencemaran air di Surabaya (1995), Penyelewengan dana Reboisasi oleh PT. Kiani Kertas (1997), Kebakaran Hutan di Sumsel (1998), Proyek Pengembangan Lahan Gambut 1 Juta Hektar (1999), Hak Atas Informasi atas informasi yang diberikan PT. Freeport (2000), Hak Penguasaan Hutan di Palu (2001), Banjir di Sumatera Utara (2002). Dari sepuluh kasus gugatan lingkungan, hanya satu kasus yang dimenangkan, yaitu Hak Atas Informasi. Dalam putusannya, Majelis hakim hanya mengabulkan gugatan WALHI sebagian dan mengakui bahwa PT Freeport Indonesia telah melakukan perbuatan melawan hukum. Kemenangan ini menjadi catatan sejarah, bahwa lingkungan dapat dimenangkan meskipun harus melewati perjalanan panjang. Hal ini sekaligus sebagai pembelajaran bagi kelompok lingkungan bahwa banyak jalan untuk menegakkan lingkungan. Meskipun disadari bahwa keputusan tersebut tampak masih ragu-ragu dan belum mencerminkan keberpihakan pengadilan atas kepedulian yang dipersoalkan Walhi, yaitu PTFI bertanggung jawab atas disinformasi yang dilakukannya.
Sejak UU Lingkungan diundangkan, kritik aktivis LSM semakin tajam kepada Emil Salim. Perubahan istilah ornop menjadi LSM dikritik Aditjondro sebagai usaha kooptasi pemerintah terhadap ornop dan mengaburkan makna sesungguhnya dari organisasi non pemerintah (kom pribadi, 28/7/00). Memakai istilah LSM, menurutnya, terutama akan memposisikan para aktivis tidak mungkin bersikap oposan kepada pemerintah dan mengurangi radikalismenya.
WALHI dan Politik
Sejak melakukan advokasi, secara langsung maupun tidak langsung, WALHI telah bersentuhan dengan masalah-masalah struktural dan politik. Persoalan Lingkungan di Indonesia adalah persoalan politik karena pada dasarnya, semua kerusakan lingkungan terjadi akibat kebijakan-kebijakan yang keluar dari berbagai kepentingan dan arah politik. (Emmy Hafild, wwc pribadi). Oleh karena itu, dalam perjalanannya, WALHI selalu kritis dengan persoalan-persoalan politik.
Dalam pembukaan Anggaran Dasar 1996, WALHI memandatkan bahwa untuk mencapai tujuan terciptanya keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan perlindungan lingkungan, maka perlu menjadi bagian dari gerakan demokratisasi. Hal ini merupakan kesadaran bahwa rintangan terbesar dalam mencapai tujuan WALHI adalah sistem politik Indonesia yang otoriter dengan keterlibatan militer yang sangat besar dan sangat kecil ruang bagi gerakan politik dan demokratisasi. Pada April 1998, WALHI kemudian merubah prioritas enam bulanan menjadi 70% politik dan 30% reguler (Emmy Hafild, Laporan Tahunan 1998 – 1999).
Juli 1999, WALHI mendaftar sebagai Utusan Golongan di MPR dengan tujuan agar isu lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam menjadi isu sentral selain demokratisasi lainnya. Namun, hal ini dibatalkan karena anggota WALHI yang hadir dalam Pertemuan Nasional Lingkungan PNLH ke - VII di Banjarmasin tidak mengijinkan WALHI masuk dalam parlemen. Mulai saat itulah, WALHI ‘dianggap’ telah terjun ke politik. Padahal, sesungguhnya sejak tahun 1988, di mana WALHI mulai melakukan advokasi, secara langsung maupun tidak langsung, WALHI selalu bersentuhan dengan persolan lingkungan. Persoalan Lingkungan di Indonesia adalah Persoalan Politik. Inilah kesimpulan WALHI. Karena semua kebobrokan lingkungan itu didasarkan pada kebijakan-kebijakan yang keluar dari berbagai kepentingan politik. Parahnya, tidak satupun partai politik yang mempunyai kepedulian pada politik. Meskipun dalam pada saat kampanye, persoalan lingkungan menjadi agenda utama beberapa partai politik.
Hasil Riset WALHI tahun 1999 menunjukkan bahwa 48 partai politik peserta Pemilu, hanya ada empat partai politik yang menempatkan lingkungan sebagai agenda utama, yaitu PDI Perjuangan, PAN, PK, dan PKB. Sayangnya, tidak satu partai pun yang merealisasikan agenda tersebut, termasuk PDI Perjuangan, sebagai partai pemenang Pemilu.
Melihat kondisi itu, WALHI kemudian terlibat dalam pendidikan pemilih. Hal ini sempat menjadi perdebatan, namun langkah ini telah dilatarbelakangi oleh kesadaran mendalam atas proses demokratisasi yang salah satunya disandarkan pada Pemilu. WALHI sadar bahwa tidak satupun partai politik yang mempunyai kepedulian memadai pada masalah-masalah lingkungan. Selain itu, WALHI juga sadar bahwa dalam berbagai konflik lingkungan hidup terdapat kolaborasi antara kepentingan negara dan bisnis yang sangat kuat. Hal ini berakibat masyarakat menjadi tersudut dan lemah. Didasarkan hal tersebut, maka ada kewajiban untuk memperkuat posisi masyarakat melalui informasi dan pengetahuan. Salah satu caranya adalah dengan voters education (pendidikan bagi para pemilih), di mana masyarakat harus bisa secara kritis menentukan pilihan politiknya yang pada akhirnya akan menentukan bagaimana masalah-masalah lingkungan akan disikapi oleh para pengambil keputusan. Sayangnya, program ini kurang berhasil, karena pada kanyataannya, di basis-basis WALHI partai-partai status quo tetap memenangkan pemilihan.
Pluralitas WALHI
Sejak awal, terlihat bahwa keanggotaan WALHI sangat beragam. Walhi terlahir bukan hanya dari ornop lingkungan saja, namun juga dari kelompok HAM, konsumen, kelompok keagamaan, perempuan, pecinta alam, jurnalis, kelompok masyarakat adat, dan anggota profesi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa WALHI merupakan representasi dari keragaman elemen masyarakat yang ada di Indonesia, yang memiliki komitmen terhadap lingkungan. Sehingga wajar kalau ada sejumlah nama yang terlahir dari WALHI, misalnya Erna Witoelar, Agus Purnomo, Hakim Garuda Nusantara, Ifdal Kasim, Goerge Adji Tjondro, Rudi Badil, Wicaksono Noerhadi, Mas Achmad Santosa, Noersyahbani Kartja Sungkana, MS. Zulkarnaen, Emmy Hafid, dan masih banyak lagi. Mereka adalah orang-orang yang mempunyai komitmen dan aktif di WALHI pada masanya dan sekarang mengabdikan diri sesuai dengan pilihanya. Semua itu membuat WALHI kaya dengan warna dan dinamika hingga saat ini.
Agus Purnomo (Direktur Eksekutif WALHI tahun 1986 – 1989), mengungkapkan bahwa lembaga swadaya masyarakat di bidang lingkungan hidup tumbuh dalam 'keanekaragaman hayati` dengan aneka bentuk dan ukuran, jenis serta kegunaan. Belajar dari konsep ekologi di hutan tropis, keragaman, konflik internal, bahkan persaingan antar komunitas bukan faktor yang memperlemah kehidupan di hutan. (Refleksi, Laporan Kegiatan 1996 – 1989).
Menjadi Gerakan Sosial
Dalam Pertemuan Nasional Lingkungan Hidup ke VIII di Parapat, Sumatera Utara, akhir Juni yang lalu, diputuskan bahwa WALHI harus melakukan pembenahan diri. Pembenahan itu didasarkan atas kesadaran bahwa ke depan perjuangan untuk merebut dan mempertahankan kelestarian lingkungan dan sumber-sumber kehidupan itu sangat berat. Hal tersebut dikarenakan semakin kukuhnya hegemoni paham liberalisme baru dengan nama globalisasi. Dan yang kedua adalah semakin menguatnya dukungan dan pemihakan kekuatan politik dominan di dalam negeri terhadap kepentingan ekonomi global.
Dua hal itu menjadi landasan langkah WALHI di masa depan, yang semakin disadari tidak mungkin dapat dilaksanakan sendiri oleh WALHI tanpa dukungan luas dari publik. Untuk itulah, dengan kesadaran penuh WALHI membuka diri untuk seluruh masyarakat untuk bersama-sama terlibat dalam proses penyelamatan lingkungan. WALHI membuka seluas-luasnya partisipasi masyarakat untuk berperan aktif, baik dengan menjadi anggota WALHI maupun dengan menjadi donatur terhadap kegiatan-kegiatan penyelamatan lingkungan.
Dengan hal ini, jelas bahwa WALHI bukan hanya oleh dan untuk kelompok lingkungan, namun WALHI menjadi milik publik. Di mana publik secara bersama-sama membangun kekuatan untuk melawan ancaman yang tidak hanya datang dari dalam namun juga ancaman yang datangnya dari luar.
Kepemimpinan WALHI Nasional
Periode 2008-2012
Direktur Eksekutif: Berry Nahdian Forqan
Dewan Nasional:
- Yani Sagaroa
- Feri Irawan
- Khalisah Khalid
- M. Irsyad Thamrin
- Ririn Sefsani
- Yusuf Tallamma
- Nordin
Periode 2006 - 2009
Direktur Eksekutif: Chalid Muhammad
Deputi Direktur: M. Ridha Saleh, Farah Sofa
Dewan Nasional:
- Syafrudin Ngulma
- Nurcholish
- Ramadhana Lubis
- Safarudin Siregar
- Johnson Panjaitan
- Nico Andasputra
Periode 2002- 2005
Direktur Eksekutif: Longgena Ginting
Deputi Direktur: Ridha Saleh
Dewan Nasional:
- Aristan
- Johnson Sotarduga Panjaitan, SH.
- Andreas Subiyono
- Wiwik Awiati
- Nico Andasputra
- Nurcholis, SH.
- Effendi Panjaitan, SE.
Periode 1999 – 2001
Direktur Eksekutif: Nurul Almy Hafild
Deputi Direktur: Suwiryo Ismail
Dewan Nasional:
- Dwiyanto Prihartono
- Chairil Syah
- Ned Purba
- Arief Zayyin
- Dwiyanto Prihartono
- Eduardus Sareng
- Koesbianto
- Andreas
Periode 1996 – 1999
Direktur Eksekutif: Nurul Almy Hafild
Deputi Direktur: Arimbi Heroeputri, Iman Maspardi
Dewan Nasional:
- Nursyahbani Kacasungkana
- Rohadji Trie
- Chairil Syah
- Dedi Mawardi
- Suwiryo Ismail
Periode 1993 – 1996
Direktur Eksekutif: Muhamad Sifaudin Zulkarnaen
Deputi Direktur: Deddy Triawan, Zukri Saad
Dewan Nasional:
- Mas Achmad Santoso
- Indro Sugianto
- Rohadjie Trie
- Nur Ismanto
- Alamsyah Hamdani
- Kusworo
- Gunawan Wibisono
Periode 1989 – 1992
Ketua Presidium: Abdul Hakim Garuda Nusantara
Direktur Eksekutif: Muhamad Sifaudin Zulkarnen
Deputi Direktur: Alex Yusutardi
Periode 1986 – 1989
Ketua Presidium:
- Abdul Hakim Garuda Nusantara
- Ir. Erna Witoelar
- MS. Zulkarnaen
- M. Gunawan Alif
- Abbas Muin
- Nashihin Muin
- Soetjipto Wirosardjono
- Iin Hasyim
- Rizal Malik
Direktur Eksekutif: Agus Purnomo
Periode 1983 – 1986
- Ketua Presidium: Nashihin Hasan
- Waka Presidium: Ir. Anton Soedjarwo
- Sekretaris: Ir. Erna Witoelar
- Wakil Sekretaris: Tatyana Kodhyat
- Bendahara: Wagiono Ismangil
Periode 1980 – 1983
- Ketua Presidium: Zen Rachman
- Sekretaris Eksekutif: Ir. Erna Witoelar
(Copy - Walhi)